Hak Dan Kewajiban Warganegera Non-Muslim Dalam Khilafah Islam

  • Posted by Bambang Sugiarto
  • at 1/26/2011 08:26:00 AM -
  • 0 comments
Pengantar

Negara merupakan metamorfosis lanjutan dari suatu mujtama’ (masyarakat) yang memerlukan instrumen berupa UUD (dustûr) undang-undang (qânûn) yang bersifat memaksa dan mengikat bagi kelompok manusia yang hidup bersama dan bekerjasama untuk mewujudkan tercapainya keinginan-keinginan bersama, sehingga keinginan-keinginan tersebut tidak saling bertentangan antara yang satu dengan yang lain.

Oleh karena itu, negara (dawlah) sebagai institusi pelaksana bagi sekumpulan konsep (mafâhîm), kriteria (maqâyis) dan keyakinan (qanâ’ât) yang telah diterima oleh sekelompok manusia (An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 6) haruslah mampu menciptakan suasana kehidupan yang aman dan nyaman, sehingga setiap individu-individu warganegaranya benar-benar merasa berada dalam naungan sebuah otoritas (kekuasaan), seperti yang digambarkan Rasulullah SAW dalam sabdanya:

إِنَََّ السُّلْطَانَ ظِلُّ اللَّهِ فِي اْلأَرْضِ، يَأْوِي إِلَيْهِ كُلُّ مَظْلُوْمٍ مِنْ عِبَادِهِ

“Sesungguhnya otoritas (kekuasaan) itu merupakan naungan Allah di muka bumi, dimana setiap orang yang terzalimi di antara para hamba-Nya pergi berlindung kepadanya.” (HR. Imam Baihaqi)

Telaah kitab dalam kesempatan kali ini akan mengkaji Rancangan UUD (Masyrû’ Dustûr) Negara Islam pasal 5 yang berbunyi: “Setiap warganegara (Khilafah) Islam mendapatkan hak-hak dan kewajiban-kewajiban sesuai dengan ketentuan syara’.” (An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 23).

Muslim Bukan Syarat Warganegara

Tidak seperti ocehan provokatif yang dilontarkan oleh mereka yang membenci Islam dan kaum Muslim, bahwa Negara Khilafah-yang tidak lama lagi akan tegak kembali dengan izin Allah-akan memaksa dan membantai setiap non-Muslim yang ada di wilayahnya. Sungguh, ia merupakan ocehan yang sama sekali tidak bernilai. Sebab, Negara Khilafah tidak mensyaratkan warganegaranya haruslah Muslim, sebagaimana dalam pasal 5 Rancangan UUD (Masyrû’ Dustûr) Negara Islam.

Ada dua syarat di mana seseorang dapat dianggap sebagai warganegara Khilafah. Pertama, ia harus menetap di dalam wilayah Negara Khilafah Islam (An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 24). Di antara para ulama yang berpendapat demikian adalah Abu Hanifah, Abu Yusuf dan Ar-Razi, sementara dari kalangan ulama kontemporer di antaranya adalah al-Maududi dan Sayyid Quthub (Tubuliak, al-Ahkâm as-Siyâsiah li al-Aqalliyât al-Muslimah fi al-Fiqh al-Islâmiy, hlm. 151). Kedua, ia harus loyal terhadap negara dan sistem (An-Nabhani, Ad-Daulah al-Islamiyah, hlm. 142).

Dalil untuk syarat yang pertama, yaitu harus menetap di dalam wilayah Negara Khilafah adalah: Pertama, firman Allah SWT:

“Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad dengan harta dan jiwanya pada jalan Allah dan orang-orang yang memberikan tempat kediaman dan pertolongan (kepada orang-orang muhajirin), mereka itu satu sama lain lindung-melindungi. Dan (terhadap) orang-orang yang beriman, tetapi belum berhijrah, maka tidak ada kewajiban sedikitpun atasmu melindungi mereka, sebelum mereka berhijrah.” (TQS. Al-Anfal [8] : 72)

Sayyid Quthub rahimahullah berkata: “Mereka-yakni orang-orang yang tidak berhijrah-tidak dianggap sebagai anggota masyarakat Islam; dan Allah tidak menjadikan untuk mereka hak mendapatkan pertolongan-apapun bentuknya-dari masyarakat Islam, sebab mereka secara riil bukan bagian dari masyarakat Islam. Dan bagi mereka berlaku firman Allah, “Dan (terhadap) orang-orang yang beriman, tetapi belum berhijrah, maka tidak ada kewajiban sedikitpun atasmu melindungi mereka.” (Quthub, Fi Dzilâl al-Qur’an, 3/1.559).

Al-Maududi rahimahullah berkata: “Ayat ini menjelaskan dua asas warganegara: iman dan tinggal di Negara Islam, atau pindah ke Negara Islam. Apabila seseorang beriman, namun ia tidak meningalkan kewarnageraan Negara Kufur, yakni tidak berhijrah ke Negara Islam, dan tidak menetap di Negara Islam, maka ia tidak dianggap sebagai bagian dari rakyat Negara Islam. Adapun orang-orang yang beriman yang menetap di Negara Islam, sama saja apakah ia dilahirkan di Negara Islam, atau ia pindahan dari Negara Kufur, maka mereka dianggap bagian dari rakyat Negara Islam; mereka mendapatkan hak yang sama, serta wajib tolong-menolong dan lindung-melindungi di antara mereka.” (Al-Maududi, Tadwîn ad-Dustûr al-Islamiy, hlm. 56-57).

Kedua, sabda Rasulullah SAW., yang di antara adalah hadits dari Sulaiman bin Buraidah radhiyallahu ‘anhu, yang di dalamnya dituturkan bahwa Nabi saw. pernah bersabda:

ثُمَّ أُدْعُهُمْ إِلَى التَّحَوّلِ مِنْ دَارِهِمْ الى دَارِالمُهَاجِرِيْنَ و أَخْبِرْهُمْ أَنَّهُمْ إِنْ فَعَلُوا ذَلِكَ فَلَهُمْ ما لِلْمُهَاجِرِيْنَ وَ عَلَيْهِمْ مَا عَلَى الْمُهَاجِريْنَ، فَإِنْ أَبَوْا أنْ يَتَحَوَّلُوا مِنْهَا فَأَخْبِرْهُمْ أَنَّهُمْ يَكُونُونَ كَأَعْرَابِ الْمُسْلِمِينَ، يَجْرِي عَلَيْهِمْ حُكْمُ اللَّهِ الَّذِي يَجْرِي عَلَى الْمُؤْمِنِينَ. وَلاَ يَكُونُ لَهُمْ فِي الْفَيْءِ وَالْغَنِيمَةِ شَيْءٌ. إِلاَّ أَنْ يُجَاهِدُوا مَعَ الْمُسْلِمِينَ.

“Serulah mereka berpindah dari negerinya (Darul Kufur) ke Darul Muhajirin (Darul Islam), dan beritahukanlah kepada mereka bahwa jika mereka telah melakukan semua itu, maka mereka akan mendapatkan hak yang sama sebagaimana yang dimiliki kaum Muhajirin, dan juga kewajiban yang sama seperti halnya kewajiban kaum Muhajirin; dan jika mereka enggan untuk berpindah, maka sampaikan kepada mereka bahwa status mereka seperti status kaum Muslim yang tidak memiliki tempat tinggal tetap (nomaden); bagi mereka berlaku hukum Allah yang berlaku bagi orang-orang yang beriman, namun mereka tidak berhak mendapatkan ghanîmah dan fai’ sedikitpun, kecuali mereka turut berjihad bersama kaum Muslim.” (HR. Muslim).

Hadits ini dengan jelas menegaskan bahwa siapa saja yang tidak berpindah ke Negara Islam, maka ia tidak dianggap sebagai warganegara Khilafah, akibatnya ia tidak memiliki hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang sama, seperti yang dimiliki oleh warganegara Khilafah Islam, sekalipun ia seorang Muslim (An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 24).

Rasulullah SAW bersabda:

أَنَا بَرِيْءٌ مِنْ كُلِّ مُسْلِمٍ يُقِيْمُ بَيْنَ أَظْهَرِ المُشْرِكِيْنَ

“Aku berlepas diri dari seorang Muslim yang tinggal di antara komunitas kaum Musyrik.” (HR. Tirmidzi)

Hadits ini menjelaskan bahwa Rasulullah SAW berlepas diri dari seorang Mulism yang hidup di Negara Kufur (Dârul Kufur), yang menjadikan statusnya tidak sama dengan status seorang Muslim yang hidup di Negara Islam (Dârul Islam). Hal ini menunjukkan bahwa seorang Muslim yang hidup di Negara Kufur (Dârul Kufur) bukanlah rakyat Negara Islam (Tubuliak, al-Ahkâm as-Siyâsiah li al-Aqalliyât al-Muslimah fi al-Fiqh al-Islâmiy, hlm. 153).

Sedangkan dalil untuk syarat yang kedua, yaitu harus loyal terhadap negara dan sistem adalah fakta dalam watsîqah (piagam) Madinah, yang kemudian oleh Dr. Hasyim Yahya al-Mallah (2007:41) disebut dengan UUD Madinah (Dustûr al-Madinah), yang di antara isinya (butir ke-11) adalah “Setiap insiden atau perselisihan yang terjadia di antara pemilik piagam ini, yang dikhawatirkan dampak buruknya, maka keputusannya harus diserahkan kepada Allah SWT dan Muhammad SAW.” (Al-Buthi, Fiqh as-Sîrah, hlm. 205). Hal ini menunjukkan bahwa setiap warganegara Muslim dan non Muslim harus tunduk dan loyal dengan negara.

Maka, melalui uraian di atas, Muslim bukanlah syarat untuk menjadi warganegara Khilafah. Sehingga, seorang non-Muslim yang dengan rela tinggal di dalam Negara Islam, serta loyal terhada negara dan sistem, maka ia merupakan bagian dari warganegara Khilafah, yang memiliki hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang sama seperti halnya warganegara Khilafah yang lain dari kaum Muslim. Sebaliknya, seorang Muslim yang menetap di Negara Kufur, maka ia bukan bagian dari warganegara Khilafah, sehingga ia tidak memiliki hak dan kewajiban yang sama seperti kaum Muslim yang menjadi warganegara Khilafah.

Hak Dan Kewajiban Warganegara non-Muslim

Dalam hukum Islam, warganegara Khilafah yang non-Muslim disebut sebagai dzimmi, yaitu setiap warganegara yang beragama selain Islam. Istilah dzimmi berasal dari kata dzimmah, yang berarti “kewajiban untuk memenuhi perjanjian” (An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 24).

Islam menganggap semua orang yang tinggal di Negara Khilafah sebagai warganegara Negara Islam, dan mereka semua berhak memperoleh perlakuan yang sama. Tidak boleh ada diskriminasi antara Muslim dan dzimmi. Negara harus menjaga dan melindungi keyakinan, kehormatan, akal, kehidupan, dan harta benda mereka.

Warganegara non-Muslim berhak menjalankan keyakinan dan agama mereka; begitu juga dalam hal makanan dan pakaian, warganegara non-Muslim berhak mengikuti aturan agama mereka tentang tata kehidupan publik, selama masih dalam koridor peraturan umum (yakni selama masih dibenarkan oleh syariah Islam); serta berhak melakukan pernikahan dan perceraian di antara mereka berdasarkan ketentuan agama dan keyakinannya (An-Nabhani, Ad-Dawlah al-Islâmiyah, hlm. 145).

Dalil atas ketentuan di atas adalah firman Allah SWT:

لاَ إِكْرَاهَ فِي الدِّينِ

“Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam).” (TQS. al-Baqarah [2]: 256)

Ayat tersebut menyatakan bahwa Negara Islam tidak diperbolehkan memaksa orang-orang non-Muslim untuk meninggalkan kepercayaan mereka. Ini terbukti melalui fakta bahwa hingga hari ini masih ada komunitas Yahudi dan Kristen yang tinggal di kawasan Timur Tengah walaupun Negara Islam telah berkuasa di kawasan tersebut selama 1300 tahun.

Sementara, aturan-aturan lain yang digariskan syariah Islam, yang terkait dengan hubungan sosial kemasyarakatan, seperti sistem sanksi, sistem peradilan, sistem pemerintahan, ekonomi, dan lainnya, maka warganegara non-Muslim wajib terikat dengan hukum syariah Islam sama seperti warganegara Muslim (An-Nabhani, Ad-Dawlah al-Islâmiyah, hlm. 146).

Dasar atas ketentuan di atas adalah dalil-dalil umum yang mencakup semua warganegara, Muslim dan non Muslim, seperti perintah menghukum di antara manusia dengan adil (An-Nisa’ [4] : 58); Rasulullah pernah menghukum mati orang Yahudi karena membunuh seorang perempun (HR, Bukhari); Rasulullah pernah merajam laki-laki dan perempuan Yahudi karena keduanya berzina (HR. Bukhari); dan banyak lagi lainnya, yang menunjukkan bahwa dalam hal ini tidak ada bedanya antara warganegara Muslim dan non-Muslim (An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 25-26; Radhi, Hizb at-Tahrîr Tsaqâfatuhu wa Manhâjuhu fî Iqâmah Dawlah al-Khilâfah al-Islâmiyah, hlm. 272-273).

Dengan melakukan kajian atas peraturan dan hukum-hukum Islam terhadap warganegara non-Muslim, kita dapat melihat bahwa Negara Khilafah bukanlah sesuatu yang perlu ditakuti oleh kaum non-Muslim. Khilafah adalah sebuah negara yang akan membawa mereka keluar dari kegelapan dan penindasan sistem kapitalis, menuju cahaya dan keadilan Islam. Perlakuan Khilafah pada warganegara non-Muslim semacam inilah yang kemudian membuat banyak orang memeluk agama Islam. Wallâh a’lam bish shawâb.

Daftar Bacaan

Al-Buthi, Dr. Muhammad Said Ramadhan, Fiqh as-Sîrah Dirâsât Manhajiyah li Sîrah al-Musthafa ‘Alaihis Salam (Beirut: Darul Fikr), 1990.

Al-Mallah, Dr. Hasyim Yahya, Hukûmatur Rasûl SAW Dirâsah Târikhiyah - Dustûriyah Muqâranah (Beirut: Darul Kutub al-Ilmiyah), Ctakan I, 2009.

Al-Maududi, Abul A’la, Tadwîn ad-Dustûr al-Islâmiy, (Beirut: Muassasah ar-Risalah), 1980.

An-Nabhani, Taqiyuddin, Ad-Dawlah al-Islâmiyah, (Beirut: Darul Ummah), Cetakan VII, 2002.

—–, Al-Syakhshiyah al-Islâmiyah, Juz II, (Beirut: Darul Ummah), Cetakan V, 2003.

—–, Muqaddimah ad-Dustur aw al-Asbâb al-Mujîbah Lahu, Jilid I, (Beirut: Darul Ummah), Cetakan II, 2009.

Quthub, Sayyid Quthub, Fi Dzilâl al-Qur’an, (Beirut: Darusy Syuruq), Cetakan IX, 1980.

Hizbut Tahrir Indonesia, “Perlakuan Negara Khilafah Terhadap Non Muslim,”

http://hizbut-tahrir.or.id/2010/01/08/perlakuan-negara-khilafah-terhadap-non-muslim/

Radhi, Muhammad Muhsin, Hizb at-Tahrîr Tsaqâfatuhu wa Manhâjuhu fî Iqâmah Dawlah al-Khilâfah al-Islâmiyah (Baghdad: Al-Jami’ah Al-Islamiyah), 2006.

Tubuliak, Sulaiman Muhammad, al-Ahkâm as-Siyâsiah lil Aqalliyât al-Muslimah fi al-Fiqh al-Islâmiy, (Beirut: Darun Nafa’is), Cetakan I, 1997.

Author

Written by Admin

Aliquam molestie ligula vitae nunc lobortis dictum varius tellus porttitor. Suspendisse vehicula diam a ligula malesuada a pellentesque turpis facilisis. Vestibulum a urna elit. Nulla bibendum dolor suscipit tortor euismod eu laoreet odio facilisis.

0 comments: