
Uji Materiil UU Penistaan Agama
mediaumat.com- Ada yang lain dari biasanya dalam Sidang Uji Materi UU No. 1/PNPS/Tahun 1965 tentang Penistaan Agama pada Rabu (24/3) karena pihak pemohon sampai-sampai mengerahkan saksi ahli hukum dan HAM lansung dari Amerika Prof W. Cole Durham, Jr.
Namun sayang, ternyata apa yang dikatakan Durham tidak berbeda dengan argumen saksi ahli dari pihak pemohon lainnya. Sehingga mendapatkan kritik tajam dari para pihak terkait yang menolak judicial review UU tersebut di antaranya adalah Ahmad Wirawan Adnan.
Durham dari BYU Law School Amerika melalui layar konferensi jauh itu menyatakan bahwa Indonesia harus mejamin kebebasan beragama, UU tersebut bermasalah karena membatasi jumlah agama, dan ia pun menyatakan harus memberikan kebebasan untuk menafsirkan agama karena itu merupakan hak asasi setiap manusia, dan banyak timbul kekerasan akibat diberlakukannya UU tersebut.
Dalam kesempatan memberikan tanggapan Adnan memberikan catatan kritisnya. Bahkan ia menyatakan di banding Amerika justru Indonesia lebih memberikan kebebasan terhadap minoritas.
"Buktinya orang Islam di Amerika tidak boleh poligami. Sedangkan minoritas di Indonesia, mau merayakan Nyepi bisa!" tandasnya.
Adnan pun mengoreksi pendapat Durham yang tidak bisa membedakan antara penafsiran dan penyimpangan. UU ini, ujar Adnan, memberikan kebebasan beragama dan tidak boleh mengganggu kebebasan beragama dari penganut agama lain.
Yang tumbuh berkembang saat ini memang hanya 6 agama. Itu diakui negara. UU ini tidak mengatakan tidak boleh ada agama lagi. UU ini hanya mengatakan bahwa tidak boleh ada agama lain yang menggunakan simbol-simbol dan nama yang sama dengan agama yang sudah ada.
Contohnya, untuk simbol-simbol negara saja, warga negera Indonesia, ya harus mengakui Merah Putih itu bendera Indonesia. Kalau di tengah bendera itu dikasih gambar wanita atau kodok misalkan, itukan sudah penafsiran yang salah. Itu bukan lagi perbedaan pendapat.
Kesimpulan Durham yang menyatakan banyak terjadinya kekerasan lantaran diberlakukannnya UU ini pun keliru. Karena publik juga tahu kekerasan merupakan ekses dari lambatnya aparat dalam menindak pelaku penistaan.[] joko prasetyo
0 comments: