Masyarakat ditipu dengan jargon-jargon yang indah tapi tidak pernah terwujud secara nyata.
Banyak orang tertipu dengan demokrasi. Alih-alih kehidupan bertambah baik, Indonesia yang katanya akan kian baik jika menerapkan demokrasi secara benar malah terpuruk. Rakyat kian jauh dari sejahtera. Hanya segelintir warga negara yang merasakan buah nikmat demokrasi. Mereka adalah elite penguasa dan para pengusaha serta kalangan berpunya.
Jargon demokrasi 'suara rakyat adalah suara tuhan' menjadi tipuan memabukkan bagi sebagian besar orang yang dulu hidup dalam penjajahan. Pengagungan suara rakyat sedemikian besar ternyata hanya di jargon. Fakta menunjukkan hal yang sebaliknya. Tidak ada penghargaan terhadap suara rakyat. Suara rakyat hanya dikeruk saat pemilihan umum berlangsung. Setelah itu, suara rakyat tak lagi diperhitungkan.
Dalam perjalanan berikutnya, suara rakyat telah berubah menjadi suara tuan. Tuan-tuan itu adalah para pemilik modal, orang-orang kaya yang telah menginvestasikan uang/modalnya dalam pemilihan umum baik untuk dirinya maupun untuk para penguasa yang diusungnya.
Tidak aneh bila sering terjadi pertentangan antara suara rakyat dengan wakil rakyat dan penguasa. Ketika rakyat ingin pendidikan murah, negara membuat UU yang mengarah swastanisasi pendidikan. Saat rakyat ingin mandiri, negara membuka kran impor. Begitu rakyat ingin menikmati kekayaan alamnya, negara malah menjualnya kepada asing. Paradok-paradok itu kian kasat mata belakangan seiring pujian-pujian asing bahwa Indonesia kian demokratis.
Kedaulatan rakyat yang menjadi pilar demokrasi, tak pernah terealisasi. Secara fakta, itu tak mungkin terealisasi. Hanya negara kampung yang bisa mewujudkan itu, di mana semua warganya bisa berpartisipasi menyampaikan aspirasinya. Alhasil, yang muncul adalah modifikasi demokrasi dengan mengambil sistem perwakilan.
Namun, lagi-lagi ini bermasalah. Soalnya, wakil-wakil yang muncul hanya sekadar kamuflase para cukong dan bandit-bandit politik untuk mengeruk kekayaan alam atas nama rakyat. Mereka tidak menjadi representasi yang sebenarnya. Buktinya, adanya paradoks tadi.
Lahirnya berbagai peraturan dari lembaga legislatif yang bertentangan dengan kehendak rakyat merupakan bukti berikutnya bahwa kedaulatan itu tak lagi milik rakyat. Ditambah lagi, hampir semua peraturan perundang-undangan yang ada dirancang oleh kalangan/pihak asing. Terus siapa yang berdaulat?
Mimpi rakyat untuk menikmati keadilan ibarat jauh panggang dari api. Hukum berlaku keras kepada kaum papa sementara sangat lemah kepada mereka yang berkuasa. Pencuri ecek-ecek di berbagai daerah yang terpaksa mencuri karena tak bisa makan, dikejar-kejar dan dihukum. Sementara banyak pejabat negara yang mencuri uang rakyat bisa berkeliaran dengan leluasa. Malah ada yang bisa jalan-jalan ke mal di saat masa hukumannya
belum habis.
Dalam beberapa kasus, banyak rakyat yang belum jelas kesalahannya ditembak mati. Sementara, kalangan elite yang sudah jelas salah malah bisa melenggang ke luar negeri dengan alasan berobat.
Belum lagi, sudah menjadi rahasia umum, keadilan bisa dibeli. Uang bisa menentukan status seseorang yang bersalah di muka hukum. Yang benar bisa salah, yang salah bisa benar, dengan uang. Mafia peradilan tak pernah bisa diberantas. Akhirnya, yang lemah selalu dikalahkan yang kuat di depan hukum sekalipun. Simbol timbangan yang setara di pengadilan tak berlaku. Persamaan di depan hukum itu telah lenyap.
Bahkan, hukum bisa menjadi alat kekuasaan. Sebelum seseorang dihukum, hukuman sudah ditetapkan. Proses pengadilan hanya sekadar ritual untuk mengetukkan palu. Ini terutama terjadi terhadap orang-orang yang dianggap bersebarangan dengan negara. Hukuman dipaksakan kendati secara materi tak terbukti.
Tak heran, banyak masyarakat tak berani menyelesaikan sengketa di pengadilan, kalau tidak terpaksa sekali. Biayanya sangat besar. Sampai-sampai muncul pameo di tengah masyarakat: kalau lapor kehilangan ayam, nanti malah kehilangan sapi. Mengapa? Semua butuh duit, duit, dan duit.
Masyarakat apatis terhadap jajaran hukum dan penegak hukum. Situasi ini menimbulkan sikap main hakim sendiri. Konflik-konflik horizontal kian marak. Tawur antarkampung, antarkampus, antarsekolah, antarsuku jadi pilihan penyelesaian masalah.
Euforia kebebasan membuat rakyat kebablasan. Semua ingin seenaknya. Rakyat melihat para pejabatnya korupsi, tak ketinggalan mengikutinya dengan caranya sendiri. Situasi kian hari kian tak terkendali.
Mending kalau rakyat tambah sejahtera, demokrasi telah melahirkan jurang menganga antara si kaya dan si miskin. Jutaan orang hidup di bawah garis kemiskinan. Sebagian mereka rela makan nasi aking. Busung lapar menjadi pemandangan yang biasa di tengah para pejabat yang biasa berpesta.
Rakyat tercekik biaya pendidikan dan layanan kesehatan. Pelan-pelan negara melepaskan diri dari tanggung jawabnya mengurus rakyat. Pembiaran berlangsung secara sistematis. Dan negara lebih sibuk mengurus para pengusaha dan tuan-tuan mereka dari mancanegara. Yah, karena memang ada fulus yang telah menantinya.
0 comments: